Saat
ini, “sekolah” dapat diartikan sebagai tempat berkumpulnya sekelompok
manusia yang ingin mendapatkan ilmu dari seseorang yang disebut guru,
yang dipercaya memiliki pengetahuan lebih berdasarkan tingkat
pendidikannya. Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, sekolah
diartikan sebagai bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkat-annya, ada).
Padahal, dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”.
Berdasarkan
keberadaan sekolah dari waktu ke waktu telah mengalami pergeseran makna
yang mempengaruhi sistem dan pelaksanaannya. Sekolah pada masa Yunani
kuno, masyarakat memanfaatkan waktu luangnya untuk mendatangi suatu
tempat atau mengunjungi seseorang yang pandai dalam hal tertentu. Mereka
berbagi ilmu pengetahuan yang menurut mereka penting dan dibutuhkan.
Dalam jangka waktu yang lama, kegiatan tersebut bertahan dan menjadi
tradisi bagi putra-putri mereka. Sampai pada seorang yang bernama John
Amos Comenius, melalui mahakaryanya yang kemudian dianggap sebagai fons et erigo nya ilmu pendidikan (tepatnya : teori pengajaran), yakni kitab Didactica Magma,
melontarkan gagasan pelembagaan pola proses pengasuhan anak-anak itu
secara sistematis dan metodis, terutama karena kenyataan memang adanya
keragaman latar belakang dan proses perkembangan anak-anak asuhan
tersebut yang memerlukan penanganan khusus.
Di
tempat lain, kegiatan yang dikenal dengan “sekolah” juga berlangsung
dalam bungkusan berbeda. Di India, seorang pendeta mengajarkan kitab
Veda, ilmu pengetahuan, tata bahasa, dan filsafat di sekitar tahun 1200
sebelum Masehi. Di Indonesia sendiri, pada abad ke -11, pada
pemerintahan Raja Udayana, di Bali, dikenal istilah Banjar atau
Babanjaran, yang secara fungsional merupakan tempat warga berkumpul
untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentinngan bersama, melalui
proses pembelajaran yan terjadi sehari-hari.
Penggunaan
kata “sekolah” kemudian berkembang berdasarkan kebutuhan pada masa
tertentu. Socrates melakukan pendekatan dengan mengjukan pertanyaan –
pertanyaan pengglian untukmemicu pikiran – pikiran muridnya guna
memahami makna kehidupan, kebenaran, dan keadilan lebih mendalam.
Kemudian, Isocrates mengembangkan metode pendididkan untuk mempersiapkan
para orator yang bekerja dikantor – kantor pemerintah. Pada sekitar
abad 11 samapi abad 15, perkembangan pendidikan semakin maju. Adanya
Unirversity of Paris pada abad ke
11, kemudian pada abad 14 dan 15 dikenal tokoh – tokoh penulis yang
memberikan pengaruh besar dalam pendidikan terutama pada bidang ilmu
arkeologi, mitologi, sejarah, dan kitab Suci.
Di
Sulawesi Selatan, berdiri sekolah rakyat yang memanfaatkan gedung tua
peninggalan Belanda. Belajar dengan sistem yang teratur,mencakup semua
bidang ilmu. Interaksi antara guru dan murid tidak hanya terjadi di
dalam kelas, melainkan di halaman, di hutan, dengan bermodal
keterampilan dan pengatahuan umum. Seketika semua berubah, bangunan
hancur, digantikan dengan banyak banguan sekolah yang membuat murid –
murid kini terpisah dibeberapa sekolah. Mereka pun bersekolah dengan
penampilan yang lain, diikat oleh aturan seragam, sepatu, dan tas
sekolah.interaksi yang monoton, dalam kelas, penuh keteraturan.
Sekarang
ini, sekolah telah bergeser maknanya. Tempat dengan ukuran tertentu dan
memiliki batasan – batasan yang membuat masyarakat berpikir bahwa salah
satu alat keberhasilan seseorang adalah bersekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar